Ketidakmahiran Berbahasa




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui disaat masyarakat kota hidup dengan bergemilangan fasilitas modern yang berkecukupan bahkan dapat dikatakan lebih, namun lain halnya dengan daerah perbatasan yang jauh dari keramaian,terpencil dan asing mungkin saja. Mereka hidup dengan keterbatasan sebab mereka memang tinggal di daerah perbatasan dengan segala keterbatasan yang ada. Ironis memang, kita sudah merdeka lebih dari setengah abad namun rasa merdeka itu hanya dirasakan oleh masyarakat kota dan tidak berarti bagi masyarakat perbatasan yang selalu hidup dengan keterbatasan dari segala aspek yang ada. Dunia pendidikan pun tak luput dari pengamatan penulis ini, ketidaktersediaan SDM guru yang kurang memadai bukan hal yang baru lagi, dalam sehari mereka mengajar beberapa kelas dengan tingkatan yang berbeda. Ditambah dengan fasilitas penunujang pembelajaran yang sangat jauh dari cukup.


1.2 Rumusan Masalah

Untuk mencerdaskan generasi muda dalam dunia pendidikan diperlukan dana yang tidak sedikit bagi guru dan orang tua yang bertempat tinggal didaerah perbatasan dan terpencil lainnya, jangan heran bila kita menemukan mereka tidak fasih berbicara Indonesia karena mereka memang tidak pernah tersentuh untuk belajar bahasa Indonesia. Bahkan Bahasa Indonesia menjadi  bahasa yang semakin rancu dikarenakan terpengaruhnya oleh bahasa asing. Padahal, beberapa kata asing tersebut bisa saja dinyatakan dalam Bahasa Indonesia. Akan tetapi, yang akan dibahas dalam makalah ini bukanlah permasalahan Bahasa Indonesia yang telah tercemar oleh bahasa asing, namun lebih kepada pembahasan mengenai Bahasa Indonesia yang telah banyak tercampur dengan bahasa negara tetangganya untuk daerah-daerah perbatasan.
1.3 Tujuan Penulisan

Bila kita berbicara lagi mengenai wilayah perbatasaan, banyak memang yang menarik untuk ditulis. Satu hal saja diperkirakan akan memakan banyak waktu karena memang akan ada banyak aspek yang dibahas dan ini bukan hal yang sulit dilihat dan dirasa karena memang sudah jelas dan tampak didepan mata kita. Untuk kedepannya diharapkan dimanapun, di daerah manapun baik perbatasan, terpencil maupun daerah lain harus menjadi “Daerah Indonesia yang Indonesia”.


1.4 Manfaat Penulisan

Oleh karena itu dengan penyusunan makalah ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan bagi khalayak bahwa ternyata masih ada daerah di Indonesia ini belum menjadi Indonesia yang sebenarnya dikarenakan oleh banyak aspek, salah satunya adalah minimnya pengetahuan akan berbahasa Indonesia yang sejatinya resmi menjadi identitas nasional dan sebagai bahasa Negara yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.



BAB II
PENBAHASAN

2.1 Kemajuan Bahasa Indonesia

Sebagai bangsa Indonesia kita sudah seharusnya bangga memiliki bahasa kesatuan Indonesia. Negara Indonesia dengan banyak pulau,banyak suku budaya serta bahasa telah cukup berhasil menciptakan suatu bahasa persatuan yang diyakini dapat menyatukan seluruh rakyatnya. Bahasa Indonesia telah menjadi tali persatuan antar suku dan bahasa. Sebagai seorang pelajar, sudah pasti mereka fasih berbahasa Indonesia. Sebab bahasa Indonesia sendiri telah diajarkan sejak memasuki bangku Sekolah Dasar. Dan kini, bahasa pengantar yang digunakan oleh kebanyakan guru di daerah-daerah bukan lagi bahasa daerah melainkan menggunakan Bahasa Indonesia. Benar adanya bila bahasa nasional harus diajarkan sejak dini. Kita ketahui pula, bahwa Pelajaran Bahasa Indonesia pun masuk dalam ujian nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Sebagian besar penduduk Indonesia telah sedikit banyak mengenal atau bersinggungan dengan Bahasa Indonesia. Kemajuan zaman yang begitu pesat membuat perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia semakin meluas.
Bangsa Indonesia juga patut berbangga diri terhadap bahasa Indonesia sebab bahasa Indonesia merupakan bahasa keempat terbanyak dipakai setelah bahasa Mandarin, Inggris, dan Spanyol. Bahasa Indonesia memiliki keindahan yang tidak jauh kalahnya dengan bahasa – bahasa lainnya di dunia. Bahasa Indonesia memiliki sejarah yang jauh lebih panjang daripada sejarah Republik Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia muncul karena tekad pemuda yang kuat dalam mempersatukan bangsa. Berbanggalah berbangsa dan berbahasa Indonesia!



2.2  Penggunaan Bahasa Indonesia di Daerah Perbatasan

Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Indonesia, bahasa kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Pada hakikatnya, Bahasa Indonesia wajib digunakan dan dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, itulah yang akan mencerminkan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
Namun nyatanya masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di daerah perbatasan,daerah terpencil yang tidak fasih dalam menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahkan tidak mengerti Bahasa Indonesia sama sekali. Mereka justru memahami dan mengerti bahasa bangsa lain. Sebagai contoh kecil rakyat Indonesia yang bertempat tinggal di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia atau Brunei Darussalam, mereka justru lebih fasih bahkan menggunakan bahasa negara tersebut dari pada menggunakan bahasa kita yaitu bahasa Indonesia.



2.3  Faktor Penyebab Masyarakat Perbatasan Tidak Mahir Berbahasa

Banyak faktor yang mengakibatkan masyarakat terpencil tidak mengerti bahkan tidak paham Bahasa Indonesia, salah satunya adalah letak geografis dan topografi yang sulit dijangkau oleh akses transportasi dan komunikasi. Hal ini menyebabkan publikasi Bahasa Indonesia yang sangat sulit menjangkau daerah mereka. Hal ini diperparah dengan akses pendidikan yang sangat sulit menembus daerah mereka, yang menyebabkan pendidikan bahasa tidak dapat tersampaikan sama sekali.
Faktor lain yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan masyarakat terpencil tidak mengerti bahkan tidak paham Bahasa Indonesia adalah dalam segi kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan daerah terpencil. Hal ini sungguh disayangkan,karena tanpa kebijakan pemerintah yang langsung menyentuh masyarakat terpencil Indonesia, semua yang diupayakan oleh masyarakat yang peduli pun menjadi sulit.






2.4  Dampak ketidakmahiran Berbahasa

Ketidakmengertian maupun ketidakpahaman Bahasa Indonesia yang dialami oleh masyarakat terpencil nyatanya memberikan dampak-dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan berbagai aspek bidang di Indonesia. Hal tersebut merupakan implikasi yang jelas-jelas merugikan,baik untuk masyarakat tersebut maupun pemerintah sebagai pelaksana kebijakan.
Bidang yang sangat terasa dampak dari adanya ketidakmengertian maupun ketidakpahaman Bahasa Indonesia adalah bidang informasi dan komunikasi. Masyarakat yang bertempat tinggal di perbatasan dan daerah terpencil besar kemungkinannya untuk tidak paham bahkan tidak mengerti Bahasa Indonesia,hal ini juga akan berimbas pada ketidaktahuan mereka terkait perkembangan isu-isu nasional yang sedang terjadi di pemerintahan, seperti pelaksanaan pemilihan umum maupun kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada. Tak jarang kita temukan masyarakat terpencil yang tidak mengetahui siapa presidennya atau siapa gubernurnya. Ini disebabkan publikasi yang hadir tidak dapat dimengerti oleh mereka.
Dalam bidang pendidikan,bila kita memiliki amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Indonesia Pasal 33 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional”. Jika dikaitkan dengan fakta yang ada,maka akan muncul masalah berupa kesulitan pemahaman antara masyarakat terpencil tersebut dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Namun solusi dari permasalahan tersebut dipaparkan di ayat selanjutnya,yang menyatakan bahwa, “Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu”
Namun hal ini tidak serta merta menyelesaikan masalah yang ada. Hal yang menjadi persoalan adalah adakah guru yang mampu berbahasa daerah yang dimaksud? Jika ada,apakah kuantitas guru yang ada mencukupi untuk bisa mendidik dan menangani kuantitas murid yang ada di daerah tersebut? Jika kita tinjau kedua pertanyaan itu, maka saat ini belum ada jawaban yang menggembirakan. Sangat sulit untuk kita temukan guru-guru yang bisa berbahasa daerah yang dimaksudkan. Ini diakibatkan jarangnya putra putri daerah yang dimaksud yang dapat menempuh dan mencapai jenjang pendidikan yang tinggi. Kesulitan pun bertambah dengan buku bacaan  yang menjadi referensi belajar murid hampir seluruhnya berbahasa Indonesia.
Namun yang sangat ironis adalah banyak masyarakat Indonesia terpencil, khususnya di daerah perbatasan yang lebih mengerti bahasa negara tetangga ketimbang bahasa negaranya sendiri. Banyak masyarakat  Indonesia di perbatasan mengkonversi pemakaian bahasa Indonesia dengan bahasa negara tetangganya. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,karena hakikat bahasa Indonesia sesungguhnya adalah bahasa nasional Indonesia, bahasa kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Jika suatu masyarakat tidak mengerti bahkan tidak mampu menggunakan bahasanya,maka akankah masyarakat itu bangga akan bahasanya?

2.5  Cuplikan Kisah Bahasa di Daerah Perbatasan

Berikut adalah salah satu contoh kasus terkait Fenomena Bahasa di Daerah Perbatasan yang telah saya temukan dari hasil pencarian di Google.com
Dusun Sejaro, Desa Sekida, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat menjadi salah satu dusun yang penggunaan Bahasa Indonesianya telah banyak tercampur dengan Bahasa Malaysia.

Sebut saja Ananda,salah satu mahasiswi yang mendapatkan tugas untuk menjalankan program kerja dari kampusnya didaerah perbatasan. Lokasinya adalah Dusun Sejaro Desa Sekida tersebut. Selama dua puluh sembilan hari ia tinggal dan bersosialisasi dengan warga suku Dayak Bidayuh disana, ternyata dalam kehidupan sehari-hari mereka pun tidak lepas dari pengaruh negara tetangga, yang tak lain dan tak bukan adalah Malaysia. Hal tersebut terlihat mulai dari penggunaan waktu, mata uang, saluran televisi, bahasa dan budaya. Kelima hal tersebut sangat berkaitan erat dengan negara tetangga. Warga Dusun Sejaro lebih sering berpatokan pada waktu Malaysia, mata uang yang digunakan pun ada dua, yakni rupian dan ringgit. Ibu Jime, istri dari Kepala Dusun Sejaro mengatakan bahwa mereka telah sejak lama menggunakan dua mata uang tersebut. Jika mereka hanya memiliki ringgit, maka transaksi perdagangan akan menggunakan ringgit, dan atau yang mereka miliki hanya rupiah maka transaksi perdagangan pun akan menggunakan rupiah. Baik rupiah maupun ringgit sama pentingnya dan keduanya sah-sah saja digunakan di wilayah perbatasan tersebut. Nilai per satu ringgit adalah tiga ribu rupiah. Selain mata uang, saluran televisi rupanya berdampak pula pada kehidupan sehari-hari warga. Informasi yang masuk ke dalam dusun tersebut hanyalah informasi mengenai perkembangan Malaysia dan permasalahan yang sedang dihadapi Malaysia. Warga tidak perlu repot-repot menggunakan antena atau parabola untuk menangkap saluran televisi Malaysia. Mereka hanya perlu menyediakan satu televisi dengan listrik dan secara otomatis, saluran televisi Malaysia akan langsung masuk dengan kualitas gambar yang bagus. Sebaliknya, untuk menangkap saluran televisi dari Indonesia, dibutuhkan antena dan bahkan parabola yang tidak sedikit biayanya. Hanya orang-orang kaya saja yang memiliki parabola, salah satunya Kepala Dusun Sejaro, Bapak Lejian.

Pengaruh Bahasa Malaysia

Begitu besarnya pengaruh Malaysia dalam kehidupan sehari-hari masyarakat perbatasan berpengaruh pula terhadap penggunaan bahasa. Meskipun bahasa lokal mereka adalah bahasa Dayak, namun untuk beberapa kegiatan, mereka akan menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Dayak antar sub suku berbeda-beda. Meskipun sama-sama suku Dayak, namun penggunaan Bahasa Dayak Bidayuh, Dayak Bekatih dan Dayak Iban sama sekali berbeda. Bahasa Indonesialah yang seringkali mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan warga Dayak lainnya. Sangat terlihat sekali perbedaaan Bahasa Indonesia di Dusun Sejaro dengan di wiilayah-wilayah Pulau Jawa pada umumnya. Begitu banyak kata-kata yang keliru. Warga Dayak pada umumya masih kesulitan dalam membedakan huruf r dan l. Beberapa kasus misalnya, kata terimakasih akan ditulis telimakasih, halo menjadi haro. Fenomena ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, namun juga oleh para orangtua. Selain itu, pengaruh Bahasa Melayu Malaysia juga terjadi disini. Ciri khas bahasa Malaysia adalah masih adanya unsur Bahasa Inggris di dalamnya. Memang, sebagian besar negara hasil jajahan Inggris memiliki bahasa yang masih terpengaruh oleh negara penjajahnya. Beberapa kata seperti tas dan sepeda akan dilafalkan bag dan bycicle (beg dan basikel). Ketika tim Ananda mengadakan penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan, beberapa warga sulit menangkap maksud dari kalimat-kalimat yang mereka sampaikan.
Padahal mereka sudah berusaha sebisa mungkin menggunakan kalimat yang umum,yang seharusnya dapat dipahami oleh orang awam. Seperti yang tadi dipaparkan di awal bahwa informasi yang masuk sebagian besar adalah informasi dari Malaysia. Bahasa pun demikian, warga Dusun Sejaro lebih sering mendengar percakapan dalam Bahasa Malaysia daripada Bahasa Indonesia. Hal tersebut membuat para warga semakin terbiasa dengan komunikasi dalam Bahasa Malaysia. Menurut penuturan Kepala Dusun Sejaro, Bapak Lejian, pengaruh Bahasa Malaysia di wilayah perbatasan memang umum terjadi. Hal tersebut karena warga perbatasan cenderung lebih banyak berinteraksi dengan negara tetangganya, selain itu juga karena suku Dayak di Kalimantan Barat masih memiliki hubungan darah dengan Suku Dayak yang ada di Malaysia. Sebagian besar warga di Dusun Sejaro pergi merantau ke Malaysia, jarang sekali yang merantau ke Jakarta. Menurut Bapak Lejian (Kepala Dusun Sejaro), pada masa mudanya, banyak sekali kawan-kawannya yang melanjutkan SMP dan SMA di Malaysia, karena lokasi SMP dan SMA di Indonesia terlalu jauh dan sulit ditempuh karena medannya yang rusak parah.



Perhatian Pemerintah untuk Daerah Perbatasan

Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam pengucapan Bahasa Indonesia di wilayah perbatasan, namun ternyata Bahasa Indonesia telah berhasil menyatukan warganya dalam hal komunikasi. Tim dari Ananda benar-benar merasakan manfaatnya. Mereka merasa sangat mudah berinteraksi dengan mereka.
Tim Ananda tidak mungkin bisa mempelajari Bahasa Dayak hanya dalam waktu 29 hari saja. Perbedaan dalam pengucapan tidak terlalu berpengaruh banyak terhadap interaksi antar warganya, meskipun ada beberapa kata yang belum mereka pahami. Sepertinya ada satu hal yang harus dibenahi di seluruh wilayah perbatasan. Mereka sangat membutuhkan perhatian pemerintah dalam hal pembangunan daerahnya masing-masing. Pemahaman terhadap sikap cinta tanah air sangat perlu untuk ditanamkan dan diterapkan di wilayah perbatasan, karena bisa jadi mereka akan sangat bergantung kepada negara tetangga yang berakibat pada keinginan daerah tersebut untuk melepaskan diri dari bagian NKRI dan menjadi bagian dari negara tetangga. Kita pasti sudah tidak ingin lagi mendengar adanya pencaplokan wilayah bukan? Itulah cuplikan kisah penggunaan bahasa yang seringkali ditemukan di wilayah perbatasan di Kalimantan.

Dan berikut adalah salah satu cuplikan berita yang masih berkaitan dengan Fenomena Bahasa yang juga berhasil saya temukan di Google.com
TEMPO.CO, Surakarta - Penguasaan bahasa Indonesia berkaitan dengan jati diri bangsa. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir, mengatakan penguasaan bahasa Indonesia tidak sekadar untuk alat berkomunikasi.
“Tapi sekaligus mencerminkan kecintaan kepada bangsa Indonesia,” kata dia, saat menjadi pembicara seminar pembelajaran bahasa, di Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kamis, 10 Oktober 2013.
Dia khawatir dengan perkembangan bahasa di wilayah perbatasan. Menurut dia, masyarakat di perbatasan mulai kehilangan identitas kebahasaan. Misalnya di Sumatra Barat, mulai muncul bahasa Indonesia campur Melayu. “Sementara di Indonesia Timur, muncul bahasa Indonesia yang terpengaruh Melanesia,” kata dia.
Bahkan di Riau, masyarakat menganggap bahasa Melayu sama derajatnya dengan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Melayu tidak lebih dari bahasa daerah setempat. Dia mengatakan, jika hal itu diteruskan, lama-kelamaan masyarakat di perbatasan akan kehilangan identitas kebahasaan dan kebangsaannya. “Pertama olah rasa yang terpengaruh, lalu olah pikir,” ujarnya. Sehingga masyarakat dikhawatirkan meninggalkan budaya asli Indonesia dan beralih mengikuti budaya negara lain.
Untuk itu dia, meminta ada penguatan berbahasa Indonesia. Misalnya, ada tes kemampuan bahasa Indonesia bagi pegawai negeri sipil atau calon pegawai dan pejabat. “Terlebih bagi pejabat yang bertugas di luar negeri,” katanya.
Pemerintah juga berupaya mengenalkan bahasa Indonesia kepada masyarakat dunia. Caranya, dengan mengajarkan bahasa Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di negara sahabat.
Dekan Fakultas Sastra UNS Surakarta, Riyadi Santosa, mengatakan dalam kurikulum 2013, bahasa Indonesia tidak lagi dipandang sebatas pengetahuan atau ilmu, tapi bagian dari membangun nilai sosial dan budaya. “Siswa tidak hanya belajar struktur gramatikal, tetapi juga mempelajari nilai dan norma sosial budaya dari kalimat,” kata dia. Sehingga, siswa sekaligus mengetahui kekayaan sosial budaya Indonesia.


2.6  Pembenahan dan Trobosan di Bidang Pendidikan

Melihat begitu ironisnya Bahasa Indonesia di lingkungan masyarakat terpencil, maka Indonesia perlu melakukan pembenahan-pembenahan dan terobosan yang nyata, konstruktif dan efektif demi tercapainya masyarakat Indonesia yang melek Bahasa.
Indonesia yang baik dan benar. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan bahasa.
Pembenahan dapat dilakukan dengan program prioritas pendidikan dasar bagi masyarakat terpencil Indonesia. Program ini dapat dijalankan dengan cara mengirimkan guru yang kompeten ke seluruh daerah terpencil yang ada di Indonesia. Namun sebelum diberangkatkan guru-guru tersebut wajib melaksanakan pelatihan dan orientasi terhadap daerah yang akan dituju, misalnya pengenalan bahasa, pengenalan budaya dan pengenalan topografi dearah tersebut.
Namun ada satu kendala yang muncul jika program ini diharuskan untuk guru, yaitu minat guru yang minim jika dia dikirim ke daerah terpencil dan dengan medan serta topografi yang belum terbiasa dia tinggali. Oleh Karena itu, penulis setuju dengan kebijakan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh yang bekerja sama dengan TNI untuk mengembangkan pendidikan khususnya di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga,wilayah konflik dan wilayah jauh tertinggal, dengan catatan program tersebut harus mulai dilaksanakan secara total dan secepatnya serta seluruh daerah – daerah terpencil di Indonesia dapat tersentuh oleh anggota TNI yang ditugaskan tersebut.
Di sisi kurikulum, sistem pendidikan Indonesia sebaiknya mempunyai kurikulum yang khusus untuk pendidikan di daerah terpencil. Ini dikarenakan, menurut penulis kurikulum yang ada saat ini dirasa terlalu gemuk jika disajikan kepada murid – murid di daerah terpencil. Kurikulum khusus ini juga harus menekankan pendidikan bahasa sebagai fokus utama, disamping bidang eksak lainnya,seperti menghitung. Contohnya adalah lebih diintenskannya pengajaran dan pendidikan berbahasa Indonesia setiap minggunya. Hal ini dapat diterapkan dalam sistem pendidikan dasar di daerah tersebut.
Implikasi dari semua itu bermuara pada sisitem evaluasi pendidikan untuk daerah terpencil itu alias Ujian Nasional (UN). Pemerintah seharusnya tidak menyamaratakan sistem evaluasi yang ada seperti sekarang,karena materi pelajaran yang berkembang di daerah perkotaan maupun daerah terpencil lainnya berbeda dalam pelaksanaan pendidikan selama ini. Maka perlu adanya pembenahan dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia saat ini, yaitu mengalihkan kewenangan pelaksanaan Ujian Nasional kepada pemerintah daerah, yaitu pemerintahan kabupaten. Ini dirasa cukup efektif untuk saat ini karena  perkembangan pendidikan yang nyata hanya diketahui oleh pemerintahan yang lebih sempit, seperti kabupaten.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai  dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis maupun bahasa baku lisan.
Ciri – ciri ragam bahasa baku :
1. Penggunaan kaidah tata bahasa normatif. Misalnya dengan penerapan pola kalimat  yang baku: acara itu sedang kami ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti.
2. Penggunaan kata-kata baku. Misalnya cantik sekali dan bukan cantik banget; uang dan bukan duit; serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.
3. Penggunaan ejaan resmi dalam ragam tulis. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disempurnakan (EYD). Bahasa baku harus mengikuti aturan ini.
4. Penggunaan lafal baku dalam ragam lisan. Meskipun hingga saat ini belum ada lafal baku yang sudah ditetapkan, secara umum dapat dikatakan bahwa lafal baku adalah lafal yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau bahasa daerah. Misalnya: /atap/ dan bukan /atep/; /habis/ dan bukan /abis/; serta /kalau/ dan bukan /kalo/.
5. Penggunaan kalimat secara efektif. Di luar pendapat umum yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia itu bertele-tele, bahasa baku sebenarnya mengharuskan komunikasi efektif: pesan pembicara atau penulis harus diterima oleh pendengar atau pembaca persis sesuai maksud aslinya.
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekedar berkomunikasi, berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa yang berlaku. Ungkapan “Gunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” Kita tentu sudah sering mendengar dan membaca ungkapan tersebut. Permasalahannya adalah pengertian apa yang terbentuk dalam benak kita ketika mendengar ungkapan tersebut? Apakah sebenarnya ungkapan itu? Apakah yang dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang benar?
Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda.
 Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan
menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan.Pengirim pesan dapat berupa penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi pesan adalah permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan. Media pesan merupakan majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis itu disampaikan kepada pembaca yang dituju. Cara artikel atau cerita itu disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju. Berarti, dalam pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.
Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa.
Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek  tata bunyi (fonologi), tata bahasa (kata dan kalimat), kosa kata (termasuk istilah), ejaan, dan makna. Pada aspek tata bunyi, misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi, zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot.
Pada aspek tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah, robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban. Dari segi kalimat pernyataan di bawah ini tidak benar karena tidak mengandung subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat atau dan objek.
Pada aspek kosa kata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa yang benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar udara, keluaran (output), dan pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi. Dari segi ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas, dan hierarki. Dari segi maknanya, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya dalam bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang sifatnya konotatif (kiasan). Jadi penggunaan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa.
Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita. Penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan. Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari penggunaan kalimat-kalimat yang efektif, yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat (Dendy Sugondo, 1999 : 21)..
Berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya menekankan kebenaran dalam hal tata bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak selalu hanus merupakan bahasa standar. Sebaliknya, penggunaan bahasa standar tidak selalu berarti bahwa bahasa itu baik dan benar. Sebaiknya, kita menggunakan ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan disamping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar (Alwi dkk., 1998: 21)
Dan dibawah ini adalah sedikit cuplikan kerja nyata yang dilakukan beberapa orang yang masih menyadari pentingnya bahasa yang berhasil saya temukan di Google.com.
Itulah realita. Ironi yang harus segera ditangani. Masih ada asa yang bisa ikut menjaga perbatasan, Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki peran yang utama dalam komunikasi masyarakat Sebatik. Untuk interaksi penduduk yang beragam suku, dengan didominasi suku Bugis, bahasa Indonesia hadir sebagai mediator. Bahasa Indonesia di sana belumlah tergeser bahasa Melayu meskipun bahasa Melayu Malaysia pelan-pelan merasuki penggunaan bahasa di sana. Penguatan bahasa Indonesia di wilayah Sebatik harus dilakukan. Jangan sampai patok yang satu ini juga ikut tergeser. Sebatik. Kita memiliki tumpah darah yang sama, namun perlakuan yang berbeda. Sebatik beranda terdepan. Sudah waktunya kita perhatikan. Sudah waktunya beranda depan dipercantik. Bila hal itu menjadi nyata, saudara-saudara kita di sana akan dengan bangga berkata, kami bangsa Indonesia. (int)
http://www.batasnegeri.com/badan-bahasa-galakkan-cinta-bahasa-indonesia-di-perbatasan-2/
________________________________________

Kegiatan Penyegaran Berbahasa Indonesia untuk Reporter yang Dilaksanakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud di Jakarta, Selasa (17/11/2015).
Batasnegeri.com: Guna memasyarakatkan gerakan Cinta Bahasa Indonesia di kawasan perbatasan negara dan pulau-pulau terluar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan melaksanakan program pembelajaran Bahasa Indonesia di 38 daerah perbatasan hingga tahun 2019. Kemendikbud juga akan melaksanakan program penumbuhan cinta sastra Indonesia di komunitas daerah perbatasan.
“Ada 38 titik daerah perbatasan yang akan kami sasar hingga 2019,” kata Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Gufron Ali Ibrahim, saat menjadi pembicara dalam kegiatan Penyegaran Keterampilan Berbahasa Indonesia untuk Reporter di Jakarta, Selasa (17/11/2015).
Sebagai langkah awal, kata Gufron Ali, pihaknya akan mensurvey daerah-daerah perbatasan yang akan dijadikan lokasi pelaksanaan program pembelajaran Bahasa Indonesia dan cinta sastra Indonesia tersebut. Setelah itu, menyusun bahan ajar dan menggelar pelatihan pembelajaran.
Guna mendukung kesuksesan pelaksaan program ini, lanjutnya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa akan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk duta-duta bahasa.
“Jangan sampai mereka sudah gunakan Ringgit, dan tidak lagi gunakan Bahasa Indonesia,” ujarnya.
Sumber : www.zonalima.com


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi minimnya infrastruktur di kawasan perbatasan telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Perbandingan kondisi antara daerah daerah yang berada di tengah kota dengan yang berada di pinggir dan perbatasan sangat jelas terlihat. Hal ini memperlihatkan tingkat kesenjangan yang tinggi antara  tengah kota dan daerah pinggir serta perbatasan. Terutama mengenai pendidikan yang merupakan salah satu modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan adanya pendidikan kita bisa mengetahui berbagai macam informasi. Kita bisa mendapatkan pendidikan moral, kedisiplinan, agama, sosial dan masih banyak lagi yang bisa kita dapatkan. Termasuk kurangnya fasilitas pengajar dan pendukung lainnya yang harusnya bisa membimbing mereka untuk 1 berbahasa yaitu Bahasa Indonesia.  Padahal daerah pinggir khususnya daerah perbatasan sangat perlu untuk mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Oleh karena itu infrastruktur yang ada pada daerah perbatasan tersebut haruslah memadai demi ketahanan negara dan demi lenyapnya kesenjangan sosial yang terlalu tinggi.

3.2  Saran

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Begitulah bunyi sila ke-5 dari pancasila , yang dimana pancasila adalah dasar negara kita , oleh karena itu seharusnya penanganan daerah-daerah yang ada di Indonesia ini dilakukan secara adil, tidak terlalu terpusat ke satu daerah saja seperti yang ada saat ini . Pembangunan di Indonesia terkesan hanya terpaku pada dua “ibu” , yaitu ibu kota negara dan ibu kota provinsi. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang sangat tinggi. Maka pembangunan harusnya dapat dilakukan secara merata sehingga tidak ada penyimpangan khususnya didaerah perbatasan. Terutama terkait yang sangat penting tercemarnya bahasa Indonesia karena telah terpengaruh oleh budaya bahkan hingga bahasa lain.






DAFTAR PUSTKA


Faisal, Rahman. 2011. Daerah Perbatasan, “Indonesia yang Belum Indonesia”.
http://faisal14.wordpress.com/2011/02/10/daerah-perbatasan-indonesia-yang-belum-indonesia/
http://ikhtisar-ku.blogspot.co.id/search/label/Bahasa
http://blablabla-rustiani.blogspot.co.id/2014/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html
https://m.tempo.co/read/news/2013/10/10/058520756/bahasa-indonesia-di-perbatasan-mulai-luntur
http://www.metrotabagsel.com/kolom/opini/2016/04/18/3256/menjaga-eksistensi-bahasa-indonesia-di-perbatasan-negara-pulau-sebatik/


@_putrikus (◕‿◕✿)
5 April 2017 , 13:33 a.m


You May Also Like

0 comments